HOME

Senin, 10 Desember 2012

sistem interkoneksi

A.    Pembangkitan dalam Sistem Interkoneksi
Sistem interkoneksi adalah suatu sistem tenaga listrik yang terdiri dari beberapa pusat listrik (Pembangkit) dan beberapa gardu induk (GI) yang saling terhubung (Terinterkoneksi) antara satu dengan yang lain melalui sebuah saluran Transmisi dan melayani beban yang ada pada semua gardu induk (GI) yang terhubung.

sebuah   sistem          interkoneksi   yang   terdiri  dari   sebuah   PLTA,   sebuah   PLTU,   sebuah   PLTG,   dan   sebuah   PLTGU  serta 7 buah GI yang satu sama lain dihubungkan oleh saluran transmisi. Di   setiap   GI   terdapat   beban   berupa   subsistem   distribusi.   Secara   listrik, masing-masing       subsistem    distribusi  tidak  terhubung     satu  sama    lain. Dalam   sistem     interkoneksi,   semua   pembangkit   perlu   dikoordinir   agar dicapai    biaya   pembangkitan      yang   minimum,     tentunya    dengan    tetap memperhatikan  mutu  serta  keandalan.  Mutu  dan  keandalan  penyediaan  tenaga listrik menyangkut frekuensi, tegangan, dan gangguan. Demikian  pula   masalah   penyaluran   daya   yang   juga   perlu   diamati   dalam   sistem interkoneksi     agar   tidak   ada   peralatan    penyaluran     (transmisi)   yang mengalami beban lebih.
Sistem yang terisolir adalah sistem yang hanya mempunyai sebuah pusat listrik saja dan tidak ada interkoneksi antar pusat listrik serta tidak ada hubungan dengan jaringan umum (interkoneksi milik PLN). Sistem yang terisolir  misalnya    terdapat   di  industri  pengolah    kayu   yang   berada   di tengah hutan atau pada pengeboran minyak lepas pantai yang berada di tengah laut. Pada sistem yang terisolir umumnya digunakan PLTD atau PLTG. Pada Sistem yang terisolir, pembagian beban hanya dilakukan di antara unit-unit pembangkit di dalam satu pusat listrik sehingga tidak ada masalah penyaluran daya antar pusat listrik seperti halnya pada sistem interkoneksi. PLN juga mempunyai banyak sistem yang terisolir berupa
sebuah PLTD dengan jaringan distribusi yang terbatas pada satu desa, yaitu pada daerah yang baru mengalami elektrifikasi. Operasi   pembangkitan,   baik   dalam   sistem   interkoneksi   maupun   dalam sistem   yang   terisolir,   memerlukan   perencanaan   pembangkitan   terlebih dahulu yang di antaranya adalah:
1.   Perencanaan Operasi Unit-unit Pembangkit.
2.   Penyediaan Bahan Bakar.
3.   Koordinasi Pemeliharaan.
4.   Penyediaan Suku Cadang.
5.   Dan lain-lain.
B. Koordinasi Pemeliharaan
Dalam sistem interkoneksi bisa terdapat puluhan unit pembangkit dan  juga puluhan peralatan transmisi seperti transformator dan pemutus tenaga (PMT). Semua unit pembangkit dan peralatan ini memerlukan pemeliharaan dengan mengacu kepada petunjuk pabrik. Tujuan pemeliharaan Unit Pembangkit dan Transformator adalah:
• Mempertahankan efisiensi.
• Mempertahankan keandalan.
• Mempertahankan umur ekonomis.
Pemeliharaan unit-unit pembangkit perlu dikoordinasikan agar petunjuk pemeliharaan pabrik dipenuhi namun daya pembangkitan sistem yang tersedia masih cukup untuk melayani beban yang diperkirakan.

Faktor-faktor dalam Pembangkitan
1. Faktor Beban
Faktor beban adalah perbandingan antara besarnya beban rata-rata. untuk suatu selang waktu (misalnya satu hari atau satu bulan) terhadap  beban puncak tertinggi dalam selang waktu yang sama. Sedangkan beban rata-rata untuk suatu selang waktu adalah jumlah produksi kWh  dalam selang waktu tersebut dibagi dengan jumlah jam dari selang waktu
tersebut. Dari uraian di atas didapat:
Faktor Beban = Beban rata-rata
                           Beban Puncak
 Bagi penyedia tenaga listrik, faktor beban sistem diinginkan setinggi  mungkin, karena faktor beban yang makin tinggi berarti makin rata beban  sistem sehingga tingkat pemanfaatan alat-alat yang ada dalam sistem dapat diusahakan setinggi mungkin. Dalam praktik, faktor beban tahunan sistem berkisar antara. 60-80%.

2. Faktor Kapasitas
Faktor kapasitas sebuah unit pembangkit atau pusat listrik menggambarkan seberapa besar sebuah unit pembangkit atau pusat listrik dimanfaatkan. Faktor kapasitas tahunan (8760 jam) didefinisikan sebagai:
Faktor Kapasitas = Produksi Satu Tahun (4.2)
        DayaTerpasangx 8,760
Dalam praktik, faktor kapasitas tahunan PLTU hanya dapat mencapai  angka antara 60-80% karena adanya dioperasikan  masa pemeliharaan  dan adanya gangguan atau kerusakan yang dialami oleh PLTU tersebut.  Untuk PLTA, faktor kapasitas tahunannya berkisar antara 30-50%. Ini  berkaitan dengan ketersediaanya air.
3. Faktor Utilisasi (Penggunaan)
Faktor utilisasi sesungguhnya serupa dengan faktor kapasitas, tetapi di  sini menyangkut daya. Faktor Utilisasi sebuah alat didefinisikan sebagai:
Faktor Utilitas = Beban Alat Tertinggi
                               Kemampuan Alat
Beban dinyatakan dalam ampere atau Mega Watt (MW) tergantung alat yang diukur faktor utilisasinya. Untuk saluran, umumnya dinyatakan dalam ampere, tetapi untuk unit pembangkit dalam MW. Faktor utilisasi  perlu diamati dari keperluan pemanfaatan alat dan juga untuk mencegah pembebanan-lebih suatu alat.
4. Forced Outage Rate
Forced outage rate adalah sebuah faktor yang menggambarkan sering tidaknya sebuah unit pembangkit mengalami gangguan. Gambar IV.4 menggambarkan hal-hal yang dialami oleh sebuah unit pembangkitdalam satu tahun (8.760 jam).  Forced Outage Rate (FOR) didefinisikan  sebagai:
FOR    =                    Jumlah Jam Gangguan Unit
    Jumlah Jam Operasi Unit + Jumlah Jam Gangguan Unit
FOR tahunan unit PLTA sekitar 0,01. Sedangkan FOR tahunan untuk unit  pembangkit termis sekitar 0,5 sampai 0,10. Makin andal sebuah unit  pembangkit (jarang mengalami gangguan), makin kecil nilai FOR-nya. Makin tidak handal sebuah unit pembangkit (sering mengalami gangguan), makin besar nilai FOR-nya. Besarnya nilai FOR atau turunnya keandalan unit pembangkit umumnya disebabkan oleh kurang  baiknya pemeliharaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar