A. Pembangkitan dalam Sistem Interkoneksi
Sistem interkoneksi adalah suatu sistem tenaga listrik yang terdiri dari beberapa pusat listrik (Pembangkit) dan beberapa gardu induk (GI) yang saling terhubung (Terinterkoneksi) antara satu dengan yang lain melalui sebuah saluran Transmisi dan melayani beban yang ada pada semua gardu induk (GI) yang terhubung.
sebuah sistem interkoneksi yang terdiri dari sebuah PLTA, sebuah PLTU, sebuah PLTG, dan sebuah PLTGU serta 7 buah GI yang satu sama lain dihubungkan oleh saluran transmisi. Di setiap GI terdapat beban berupa subsistem distribusi. Secara listrik, masing-masing subsistem distribusi tidak terhubung satu sama lain. Dalam sistem interkoneksi, semua pembangkit perlu dikoordinir agar dicapai biaya pembangkitan yang minimum, tentunya dengan tetap memperhatikan mutu serta keandalan. Mutu dan keandalan penyediaan tenaga listrik menyangkut frekuensi, tegangan, dan gangguan. Demikian pula masalah penyaluran daya yang juga perlu diamati dalam sistem interkoneksi agar tidak ada peralatan penyaluran (transmisi) yang mengalami beban lebih.
Sistem yang terisolir adalah sistem yang hanya mempunyai sebuah pusat listrik saja dan tidak ada interkoneksi antar pusat listrik serta tidak ada hubungan dengan jaringan umum (interkoneksi milik PLN). Sistem yang terisolir misalnya terdapat di industri pengolah kayu yang berada di tengah hutan atau pada pengeboran minyak lepas pantai yang berada di tengah laut. Pada sistem yang terisolir umumnya digunakan PLTD atau PLTG. Pada Sistem yang terisolir, pembagian beban hanya dilakukan di antara unit-unit pembangkit di dalam satu pusat listrik sehingga tidak ada masalah penyaluran daya antar pusat listrik seperti halnya pada sistem interkoneksi. PLN juga mempunyai banyak sistem yang terisolir berupa
sebuah PLTD dengan jaringan distribusi yang terbatas pada satu desa, yaitu pada daerah yang baru mengalami elektrifikasi. Operasi pembangkitan, baik dalam sistem interkoneksi maupun dalam sistem yang terisolir, memerlukan perencanaan pembangkitan terlebih dahulu yang di antaranya adalah:
1. Perencanaan Operasi Unit-unit Pembangkit.
2. Penyediaan Bahan Bakar.
3. Koordinasi Pemeliharaan.
4. Penyediaan Suku Cadang.
5. Dan lain-lain.
B. Koordinasi Pemeliharaan
Dalam sistem interkoneksi bisa terdapat puluhan unit pembangkit dan juga puluhan peralatan transmisi seperti transformator dan pemutus tenaga (PMT). Semua unit pembangkit dan peralatan ini memerlukan pemeliharaan dengan mengacu kepada petunjuk pabrik. Tujuan pemeliharaan Unit Pembangkit dan Transformator adalah:
• Mempertahankan efisiensi.
• Mempertahankan keandalan.
• Mempertahankan umur ekonomis.
Pemeliharaan unit-unit pembangkit perlu dikoordinasikan agar petunjuk pemeliharaan pabrik dipenuhi namun daya pembangkitan sistem yang tersedia masih cukup untuk melayani beban yang diperkirakan.
Faktor-faktor dalam Pembangkitan
1. Faktor Beban
Faktor beban adalah perbandingan antara besarnya beban rata-rata. untuk suatu selang waktu (misalnya satu hari atau satu bulan) terhadap beban puncak tertinggi dalam selang waktu yang sama. Sedangkan beban rata-rata untuk suatu selang waktu adalah jumlah produksi kWh dalam selang waktu tersebut dibagi dengan jumlah jam dari selang waktu
tersebut. Dari uraian di atas didapat:
Faktor Beban = Beban rata-rata
Beban Puncak
Bagi penyedia tenaga listrik, faktor beban sistem diinginkan setinggi mungkin, karena faktor beban yang makin tinggi berarti makin rata beban sistem sehingga tingkat pemanfaatan alat-alat yang ada dalam sistem dapat diusahakan setinggi mungkin. Dalam praktik, faktor beban tahunan sistem berkisar antara. 60-80%.
2. Faktor Kapasitas
Faktor kapasitas sebuah unit pembangkit atau pusat listrik menggambarkan seberapa besar sebuah unit pembangkit atau pusat listrik dimanfaatkan. Faktor kapasitas tahunan (8760 jam) didefinisikan sebagai:
Faktor Kapasitas = Produksi Satu Tahun (4.2)
DayaTerpasangx 8,760
Dalam praktik, faktor kapasitas tahunan PLTU hanya dapat mencapai angka antara 60-80% karena adanya dioperasikan masa pemeliharaan dan adanya gangguan atau kerusakan yang dialami oleh PLTU tersebut. Untuk PLTA, faktor kapasitas tahunannya berkisar antara 30-50%. Ini berkaitan dengan ketersediaanya air.
3. Faktor Utilisasi (Penggunaan)
Faktor utilisasi sesungguhnya serupa dengan faktor kapasitas, tetapi di sini menyangkut daya. Faktor Utilisasi sebuah alat didefinisikan sebagai:
Faktor Utilitas = Beban Alat Tertinggi
Kemampuan Alat
Beban dinyatakan dalam ampere atau Mega Watt (MW) tergantung alat yang diukur faktor utilisasinya. Untuk saluran, umumnya dinyatakan dalam ampere, tetapi untuk unit pembangkit dalam MW. Faktor utilisasi perlu diamati dari keperluan pemanfaatan alat dan juga untuk mencegah pembebanan-lebih suatu alat.
4. Forced Outage Rate
Forced outage rate adalah sebuah faktor yang menggambarkan sering tidaknya sebuah unit pembangkit mengalami gangguan. Gambar IV.4 menggambarkan hal-hal yang dialami oleh sebuah unit pembangkitdalam satu tahun (8.760 jam). Forced Outage Rate (FOR) didefinisikan sebagai:
FOR = Jumlah Jam Gangguan Unit
Jumlah Jam Operasi Unit + Jumlah Jam Gangguan Unit
FOR tahunan unit PLTA sekitar 0,01. Sedangkan FOR tahunan untuk unit pembangkit termis sekitar 0,5 sampai 0,10. Makin andal sebuah unit pembangkit (jarang mengalami gangguan), makin kecil nilai FOR-nya. Makin tidak handal sebuah unit pembangkit (sering mengalami gangguan), makin besar nilai FOR-nya. Besarnya nilai FOR atau turunnya keandalan unit pembangkit umumnya disebabkan oleh kurang baiknya pemeliharaan.
Sistem interkoneksi adalah suatu sistem tenaga listrik yang terdiri dari beberapa pusat listrik (Pembangkit) dan beberapa gardu induk (GI) yang saling terhubung (Terinterkoneksi) antara satu dengan yang lain melalui sebuah saluran Transmisi dan melayani beban yang ada pada semua gardu induk (GI) yang terhubung.
sebuah sistem interkoneksi yang terdiri dari sebuah PLTA, sebuah PLTU, sebuah PLTG, dan sebuah PLTGU serta 7 buah GI yang satu sama lain dihubungkan oleh saluran transmisi. Di setiap GI terdapat beban berupa subsistem distribusi. Secara listrik, masing-masing subsistem distribusi tidak terhubung satu sama lain. Dalam sistem interkoneksi, semua pembangkit perlu dikoordinir agar dicapai biaya pembangkitan yang minimum, tentunya dengan tetap memperhatikan mutu serta keandalan. Mutu dan keandalan penyediaan tenaga listrik menyangkut frekuensi, tegangan, dan gangguan. Demikian pula masalah penyaluran daya yang juga perlu diamati dalam sistem interkoneksi agar tidak ada peralatan penyaluran (transmisi) yang mengalami beban lebih.
Sistem yang terisolir adalah sistem yang hanya mempunyai sebuah pusat listrik saja dan tidak ada interkoneksi antar pusat listrik serta tidak ada hubungan dengan jaringan umum (interkoneksi milik PLN). Sistem yang terisolir misalnya terdapat di industri pengolah kayu yang berada di tengah hutan atau pada pengeboran minyak lepas pantai yang berada di tengah laut. Pada sistem yang terisolir umumnya digunakan PLTD atau PLTG. Pada Sistem yang terisolir, pembagian beban hanya dilakukan di antara unit-unit pembangkit di dalam satu pusat listrik sehingga tidak ada masalah penyaluran daya antar pusat listrik seperti halnya pada sistem interkoneksi. PLN juga mempunyai banyak sistem yang terisolir berupa
sebuah PLTD dengan jaringan distribusi yang terbatas pada satu desa, yaitu pada daerah yang baru mengalami elektrifikasi. Operasi pembangkitan, baik dalam sistem interkoneksi maupun dalam sistem yang terisolir, memerlukan perencanaan pembangkitan terlebih dahulu yang di antaranya adalah:
1. Perencanaan Operasi Unit-unit Pembangkit.
2. Penyediaan Bahan Bakar.
3. Koordinasi Pemeliharaan.
4. Penyediaan Suku Cadang.
5. Dan lain-lain.
B. Koordinasi Pemeliharaan
Dalam sistem interkoneksi bisa terdapat puluhan unit pembangkit dan juga puluhan peralatan transmisi seperti transformator dan pemutus tenaga (PMT). Semua unit pembangkit dan peralatan ini memerlukan pemeliharaan dengan mengacu kepada petunjuk pabrik. Tujuan pemeliharaan Unit Pembangkit dan Transformator adalah:
• Mempertahankan efisiensi.
• Mempertahankan keandalan.
• Mempertahankan umur ekonomis.
Pemeliharaan unit-unit pembangkit perlu dikoordinasikan agar petunjuk pemeliharaan pabrik dipenuhi namun daya pembangkitan sistem yang tersedia masih cukup untuk melayani beban yang diperkirakan.
Faktor-faktor dalam Pembangkitan
1. Faktor Beban
Faktor beban adalah perbandingan antara besarnya beban rata-rata. untuk suatu selang waktu (misalnya satu hari atau satu bulan) terhadap beban puncak tertinggi dalam selang waktu yang sama. Sedangkan beban rata-rata untuk suatu selang waktu adalah jumlah produksi kWh dalam selang waktu tersebut dibagi dengan jumlah jam dari selang waktu
tersebut. Dari uraian di atas didapat:
Faktor Beban = Beban rata-rata
Beban Puncak
Bagi penyedia tenaga listrik, faktor beban sistem diinginkan setinggi mungkin, karena faktor beban yang makin tinggi berarti makin rata beban sistem sehingga tingkat pemanfaatan alat-alat yang ada dalam sistem dapat diusahakan setinggi mungkin. Dalam praktik, faktor beban tahunan sistem berkisar antara. 60-80%.
2. Faktor Kapasitas
Faktor kapasitas sebuah unit pembangkit atau pusat listrik menggambarkan seberapa besar sebuah unit pembangkit atau pusat listrik dimanfaatkan. Faktor kapasitas tahunan (8760 jam) didefinisikan sebagai:
Faktor Kapasitas = Produksi Satu Tahun (4.2)
DayaTerpasangx 8,760
Dalam praktik, faktor kapasitas tahunan PLTU hanya dapat mencapai angka antara 60-80% karena adanya dioperasikan masa pemeliharaan dan adanya gangguan atau kerusakan yang dialami oleh PLTU tersebut. Untuk PLTA, faktor kapasitas tahunannya berkisar antara 30-50%. Ini berkaitan dengan ketersediaanya air.
3. Faktor Utilisasi (Penggunaan)
Faktor utilisasi sesungguhnya serupa dengan faktor kapasitas, tetapi di sini menyangkut daya. Faktor Utilisasi sebuah alat didefinisikan sebagai:
Faktor Utilitas = Beban Alat Tertinggi
Kemampuan Alat
Beban dinyatakan dalam ampere atau Mega Watt (MW) tergantung alat yang diukur faktor utilisasinya. Untuk saluran, umumnya dinyatakan dalam ampere, tetapi untuk unit pembangkit dalam MW. Faktor utilisasi perlu diamati dari keperluan pemanfaatan alat dan juga untuk mencegah pembebanan-lebih suatu alat.
4. Forced Outage Rate
Forced outage rate adalah sebuah faktor yang menggambarkan sering tidaknya sebuah unit pembangkit mengalami gangguan. Gambar IV.4 menggambarkan hal-hal yang dialami oleh sebuah unit pembangkitdalam satu tahun (8.760 jam). Forced Outage Rate (FOR) didefinisikan sebagai:
FOR = Jumlah Jam Gangguan Unit
Jumlah Jam Operasi Unit + Jumlah Jam Gangguan Unit
FOR tahunan unit PLTA sekitar 0,01. Sedangkan FOR tahunan untuk unit pembangkit termis sekitar 0,5 sampai 0,10. Makin andal sebuah unit pembangkit (jarang mengalami gangguan), makin kecil nilai FOR-nya. Makin tidak handal sebuah unit pembangkit (sering mengalami gangguan), makin besar nilai FOR-nya. Besarnya nilai FOR atau turunnya keandalan unit pembangkit umumnya disebabkan oleh kurang baiknya pemeliharaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar